Jumat, 18 Juli 2014

Aku dan Ibu



Pagi ini (18/07/14) aku tiba di kampung halaman, Cibinong (Kabupaten Bogor) Jawa Barat, kurang lebih pukul delapan pagi. Layaknya tahun-tahun sebelumnya, tujuanku pulang adalah menghabiskan waktu libur (sebelum semester remidiasi plus di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, 6/08/14) juga merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga. Bukan suasana rumah ataupun kampung yang saya rindukan, melaikan Ibunda saya. Selama libur, saya harus menemani dan memanjakannya.

Beliau mengidap stroek sudah tujuh bulan lamanya dan semenjak tujuh bulan tersebut, opiniku akan duniapun mulai berubah. Intinya, aku melewatkan banyak hal disaat sebelum Ibu sakit, baik menikmati jalannya hidup (senang dan susah), merasa benar disaat melakukan keburukan, melupakan bahwa disetiap akhir cerita akan adanya nilai moral yang dapat diambil dan bersyukur atas segala sesuatu yang aku punya (keluarga, teman, pengalaman dan materi).

Kepribadian Ibu berubah drastis 180 derajat, begitu pula hidupku (meski tidak terlalu). Sering kali susah tidur dan memikirkan Ibu semalaman, hingga pada akhirnya insomnia melanda dan jam tidurpun kembali rusak (biasanya jam tidur rusak digunakan untuk hal yang sama sekali tidak perlu; marathon episode Anime, nonton film yang sudah berulang kali ditonton, baca comic, dsb.). Terkadang merasa amat teramat bodoh, ketika mengingat akan rusaknya jam tidur untuk hal yang tidak perlu disaat memikirkan bagaimana kesehatan Ibu saya kelak. Apakah Ibu akan segera baikan, akankah Ibu akan selamanya sakit, dsb. Pemikiran barusan-pun tidak jauh bodohnya, lebih bodoh lagi, ketika Aku mengingatkan diriku akan kebodohan, namun semakin sering pula aku melakukannya.

Ya, Ibu. Sebelum stroek, beliau sangatlah galak dan doyan membentak. Setelah stroek, Ibu memiliki sifat layaknya anak kecil, baik, tulus, pengertian dan nakal (kalo disuruh minum obat). Sedih dan hati menangis dan bisu ketika mendengar berbagai kalimat yang Ibu utarakan secara terabata-bata, bagian tubuh sebelah kanan yang susah untuk digerakan (terutama tangan dan kaki). Mungkin tongkat penyangga menjadi teman Ibu dalam menelusuri rumah yang kosong ketika Bapak pergi bekerja, adik-adik yang sekolah dan saya yang masih di Jogja dalam menuntut ilmu.

Pernah mata berkaca-kaca disaat pertama kali menjenguk Ibu tujuh bulan yang lalu, tepatnya dibulan Desember, 2013. Memberi salam dan menyapa Ibu disalah satu kamar di Rumah Sakit Bina Husada Cibinong, dan dengan suara yang terbata-bata Ibu bertanya "siapa?". Ibuku melupakanku. Kejadian tersebut sungguh menguras hatiku, membunuh jiwaku. Hingga pada akhirnya adikku perempuanku berkata bahwa Ibu sedang mengalami masalah di otaknya, kemampuan mengingatnyapun masih sangat payah. Okay, apapun yang kulakukan untuk Ibu. Dari menyuapi, membantu ibu berdiri, membelikan segala sesuatu dan kemarin(18/07/14), aku baru saja memandikan Ibu untuk pertama kalinya. Ibu menjadi lebih kurus. Lemak-lemak dibawah lengannya menghilang, jangankan berjalan tanpa tongkat penyangga, makapun dan minum obatpun susah (rewel). Begitulah Ibu yang sekarang. Cepat sembuh ya Ibu, nanti kita bisa jalan-jalan pake sepedah motor lagi keliling Bogor.

Rasanya, bait lembaran ini bagai KOMA yang ditulis oleh Rachmania Arunita. Mungkin kapan-kapan aku bisa meresensi novel tersebut buat sobat-sobat semua. Jarang-jarang sekali aku membaca buku bertajuk cinta, mungkin semenjak Ibuku jatuh stroek dan aku memiliki kekasih, hati ini menjadi sensitif. Baru ingat, aku belum memperkenalkan pacarku e sobat blogger semua ya, okay, nanti ya, sabar, di post berikutnya, hehehehe.

Sebelumnya, maaf, tiga minggu lebih aku ga update post, maklum lagi UAS dan lagi asik-asiknya baca Novel Pulang by Leila S. Chudori. Cukup omongan panjang dan lebarnya, aku Arief Setya Negara, Thanks banget udah baca curhatanku yang gak jelas ini, see yaaa

0 komentar: